Detail Film :
1
|
Judul
|
:
|
The King’s
Speech
|
2
|
Produksi
|
:
|
Bedlam
Production, See-Saw Films
|
3
|
Tahun
|
:
|
2011
|
4
|
Genre
|
:
|
Drama
|
5
|
Sutradara
|
:
|
Tom Hooper
|
6
|
Penulis
Skenario
|
:
|
David Seidler
|
7
|
Pemain
|
:
|
Colin Firth,
Geoffrey Rush, Helena Bonham
|
Melihat film yang bagus dan menarik dengan tema keluarga
kerajaan menurut saya tidak mudah. Para sineas harus berpikir keras bagaimana
agar alur cerita tokoh-tokoh dalam kerajaan ini tidak monoton dan konservatif
dengan budaya kerajaan yang begitu mengikat penghuni istana. Film the King’s
Speech menurut saya satu dari sedikit film yang berlatar kerajaan yang sangat
enak untuk ditonton. Tokoh pangeran yang sangat disegani dan dihormati, dalam
film ini dapat diangkat sisi lemahnya. Dan menunjukkan bahwa kaum bangsawan
adalah manusia juga. Berikut adalah resensinya....
Film ini menceritakan usaha Albert yang bergelar Duke of York
(Colin Firth) sebagai pangeran yang diberikan kekuasaan dari kakaknya untuk
menjadi seorang raja Inggris yang sempurna. Namun, usahanya ini menemui kendala
yang sangat sulit untuk diatasi. Kendala ini muncul dari diri pangeran yang
gagap dalam berbicara terlebih-lebih berpidato. Sebagai seorang pemimpin,
keahlian berpidato amatlah wajib dimiliki. Oleh karena itu Albert dibantu
istrinya Elizabeth (Helena Bonham) berupaya untuk mengobati gagapnya.
Berbagai cara telah dilalui Albert mulai dari merokok, hingga
ia pernah diminta oleh dokternya untuk mengulum beberapa butir kelereng yang
telah disteril dan dengan mulut penuh kelereng disuruh membaca teks pidato di
tangannya. Namun tidak ada satupun
usahanya yang berhasil. Di tengah kemarahan dan frustasi-nya, Albert lalu bertemu
dengan terapis bicara Lionel Logue (Geoffrey Rush). Dengan gaya yang terkenal
kontroversial, Lionel menyanggupi untuk mengobati Albert dengan syarat-syarat
tertentu.
Disinilah dimulai intrik-intrik yang membuat film ini begitu
menarik untuk ditonton. Mulai dari sikap Lionel yang membuat Albert jengkel
karena melarangnya merokok di ruang kerjanya dan bahkan bersikeras bahwa mereka
setara dan karenanya dengan nada ringan memanggilnya Bertie. Hingga kegigihan Lionel
yang dengan sabar melatih Albert bicara seperti bergumam, melonggarkan bahu,
bergoyang, berguling, berteriak di depan jendela, menarik napas, dan lain-lain.
Setelah wafatnya Raja George V, Albert makin tertekan ketika ia harus menjadi raja disaat-saat seorang raja
harus banyak berpidato, sementara ia masih belum sepenuhnya sembuh dari
gagapnya. Namun berkat kegigihannya dan dampingan Lionel, Albert berhasil
menyelesaikan pidatonya dan menuai banyak pujian.
Akhirnya, Lionel terus mendampingi Albert setiap kali
berpidato selama masa perang. Melalui pidatonya yang disiarkan, Raja George VI
yang menjadi gelar Albert saat menjadi raja, telah menjadi simbol perlawanan
nasional. Dan mereka (Lionel dan Albert) juga tetap berteman hingga akhir hayat
mereka.