Ragam Tulisan

Sabtu, 29 Oktober 2011

Dahsyatnya Jadi Pengemis


Surabaya, 29 Oktober 2011
Sebagaimana kita ketahui, perkembangan kota-kota besar di Indonesia tidak selalu membawa efek baik bagi masyarakatnya. Salah satu efek samping atas pengembangan kota adalah menjadikannya daya tarik kaum urban (pendatang) dengan harapan mencari penghidupan yang lebih baik di kota. Jakarta misalnya, setiap tahunnya tak kurang dari seratus ribu orang pendatang baru memasuki Jakarta, padahal jumlah lapangan pekerjaan di Jakarta tidaklah sebanyak itu. Belum lagi ditambah kemacetan dan kepadatan penduduk yang semakin memperparah ibukota. Celakanya kaum pendatang yang datang ke ibukota tidak selalu dibekali keterampilan yang cukup untuk mencari pekerjaan di ibukota. Alhasil, kaum ini akan semakin terpinggirkan oleh kejamnya kehidupan ibukota sehingga mereka akan semakin menjejali kolong-kolong jembatan, pelataran toko dan tempat-tempat yang bisa mereka jadikan rumah. Tanpa punya keahlian, mereka akhirnya hanyalah menjadi gelandangan dan pengemis dengan harapan menerima belas kasihan orang lain. Jika dibiarkan, maka para penegmis seperti ini akan terus bertambah bak jamur di musim hujan.
Sebenarnya, budaya meminta-minta bukanlah jati diri bangsa ini. Jika kita tengok jaman perjuangan, kemerdekaan Indonesia diraih bukan dengan meminta belas kasihan Jepang yang telah dihancurkan Amerika, namun kemerdekaan kita raih dengan segenap pengorbanan tumpah darah para pahlawan kita. Inilah yang menjadikan kita bangsa besar yang bangga akan kemerdekaannya. Bahkan agama pun mengajarkan bahwa menjadikan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Namun, dengan menjamurnya pengemis dan gelandangan telah menunjukkan bahwa budaya asli kita telah terkikis oleh mental peminta-minta.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa seorang pengemis di Jakarta mengaku bisa mendapatkan uang rata-rata sebesar seribu rupiah dari setiap menitnya, maka dalam satu jam mereka dapat mengumpulkan Rp 60.000,-. Sehingga apabila dia beroperasi mulai dari jam 10 pagi hingga jam 8 malam, dia berhasil mengumpulkan uang Rp 600.000,- dan dalam sebulan penghasilannya sama dengan Rp 18.000.000,-. Dahsyat bukan??? Berprofesi pengemis ternyata bisa membuat anda jadi jutawan secara matematika. Kemudahan mendapatkan begitu banyak uang menjadi salah satu faktor keengganan beralih profesi dari seorang peminta-minta menjadi seorang buruh pekerja atau wirausaha. Sehingga ini juga akan memupuk mental yang hanya mengadahkan tangan berharap pemberian orang lain.
Pengemis, gelandangan dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Itulah bunyi opasal 34 UUD 1945. Namun apabila kita berkaca pada kenyataan, seharusnya pasal ini dihapuskan, karena ternyata pemerintah gagal memelihara mereka. Bukannya tanpa alasan saya berpendapat demikian, seharusnya pemerintah harus dapat membuat solusi mengenai hal ini bukan seperti diberlakukannya Perda DKI Jakarta no 8 tahun 2007  tentang ketertiban umum pasal 40 c yang memberikan sanksi kepada masyarakat yang kedapatan memberikan bantuan kepada pengemis. Peraturan ini tidak akan efektif menangani masalah pengemis bahkan tidak masuk akal. Pengemis ada karena timpangnya pemerataan pembangunan wilayah kota dan desa, keterampilan minim yang dimiliki kaum urban hingga kemiskinan yang semakin merajalela. Selain itu, pemerintah tidak boleh menutup mata bahwa eksistensi pengemis ternyata dipelihara oleh “antek-antek” negara. Mereka dibiarkan ada karena mereka juga menjadi sumber penghasilan para oknum aparat yang menerima setoran para pengemis.
Menyelesaikan masalah pengemis memang tidak mudah. Namun saya sangat berharap bahwa seharusnya pengemis tidak ada di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara yang dikaruniai Tuhan sumber daya yang kaya nan melimpah apalagi kita bukanlah bangsa pengemis sehingga mental meminta-minta harus dihapuskan dari bangsa ini.

Tidak ada komentar: