Ragam Tulisan

Sabtu, 12 November 2011

Resensi Film : ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI


Detail Film :
1
Judul
:
Alangkah Lucunya Negeri Ini
2
Produksi
:
Citra Sinema
3
Tahun
:
2010
4
Genre
:
Komedi
5
Sutradara
:
Deddy Mizwar
6
Penulis Skenario
:
Musfar Yasin
7
Pemain
:
Reza Rahadian, Deddy Mizwar, Slamet Rahardjo, Jaja Mihardja, Tio Pakusadewo, Asrul Dahlan, Ratu Tika Bravani, Rina Hasyim, Sakurta Ginting, Sonia, dan Teuku Edwin

Sebuah film komedi Indonesia karya sineas ternama Deddy Mizwar yang berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini” mencoba mengangkat potret nyata dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dengan membawakan tema pendidikan, film ini mempunyai plot utama yaitu bagaimana Muluk (Reza Rahadian) dan kawan-kawannya bisa mengubah para pencopet cilik untuk tidak lagi mencopet dan beralih usaha yang halal dengan cara yang “tidak biasa”. Selain itu yang tidak kalah serunya adalah adanya bumbu-bumbu komedi yang membuat penonton berpikir seperti celetukan para bocah pencopet atau keadaan-keadaan sekitar film ini yang menggambarkan cerita negeri ini apa adanya.
Film ini bermula dari kekhawatiran para calon besan (H Makbul/Deddy Miszwar dan H. Sarbini/Jaja Miharja) yang begitu prihatin dengan nasib Muluk (Reza Rahardian) yang sudah lama menganggur. Hampir 2 tahun sejak Muluk lulus sarjana, dia belum bisa mendapatkan pekerjaan. Namun, meskipun selalu gagal dalam mendapatkan pekerjaan, Muluk tidak pernah berputus asa untuk terus berusaha.
Sebuah pertemuan dengan pencopet bernama Komet tak disangka membuka peluang pekerjaan bagi Muluk. Komet yang bersedia membawa Muluk ke markasnya, lalu memperkenalkan kepada bosnya bernama Jarot (Tio Pakusadewo). Muluk terkejut melihat rumah tua yang dijadikan markas itu adalah tempat berkumpul anak-anak seusia Komet yang pekerjannya adalah mencopet.
Melihat situasi ini, Muluk melihat peluang yang kemudian ia coba tawarkan kepada bos pencopet, Jarot. Ia meyakinkan Jarot bahwa ia dapat mengelola keuangan mereka hasil dari mencopet dan dengan meminta imbalan 10% dari hasil mencopet, Muluk bersedia untuk mendidik para pencopet cilik.
Ternyata usaha yang dikelola Muluk cukup berhasil. Dengan dibantu dua rekannya Syamsul (Asrul Dahlan) dan Pipit (Tika Bravani) yang juga sarjana, Muluk membagi tugas mereka untuk mengajar baca tulis, agama, budi pekerti dan kewarganegaraan. Namun jauh dalam hati kecilnya, Muluk berniat untuk mengarahkan para pencopet yang masih sangat muda tersebut agar mau mengubah profesi mereka.
Para pencopet yang dulu tidak tersentuh pendidikan ini, setelah dikelola Muluk dan teman-temanya sedikit demi sedikit mulai merasakan pendidikan yang selama ini dirasakan begitu mahal biayanya. Kita bisa melihat adegan bagaimana kesabaran Syamsul dalam mengajarkan Baca Tulis, hingga celetukan seorang anak didiknya mengenai seberapa pentingnya pendidikan. Karena itu, lantas Syamsul berkomentar : “Pendidikan itu penting. Karena berpendidikan, maka kita tahu bahwa pendidikan itu tidak penting!” . Atau ketika pencopet dengan sukses mengadakan upacara bendera. Begitu lagu kebangsaan Indonesia Raya berhenti, “Hiduplah Indonesia Raya”…tiba-tiba yang paling kecil menyeletuk:”Amin!”, sembari menggerakkan tangannya mengusap wajah, layaknya berdoa. Kita dapat melihat bahwa apapun profesinya, sebagai rakyat Indonesia mereka mempunyai harapan yang sama agar bangsa ini menjadi bangsa yang adil dan makmur.
Melihat film hasil kolaborasi penulis Musfar Yasin dan sutradara Deddy Mizwar ini, kita bisa melakukan penilaian dari banyak sudut pandang, diantaranya : ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kriminalitas, generasi muda, dan agama. Isu-isu dasar yang sangat tampak di permukaan seperti pengangguran, kekerasan, dan materialistis juga ikut disinggung dalam film ini.
Dalam film ini banyak memperlihatkan keadaan kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalkan dan memang itu yang sebenarnya terjadi. Adanya tekanan sosial yang dialami Muluk karena masih saja menganggur walaupun sudah sarjana, atau kewajiban bekerja dan menikah adalah hal lumrah di negeri ini. Potret kemiskinan dan pengangguran juga disajikan apik seperti sang ibu (Rina Hasyim) yang tidak punya pekerjaan selain mengisi TTS dan game watch, atau Syamsul yang hobi bermain gaple di pos ronda.  Bahkan kelakuan Pipit yang senang mengikuti kuis di televisi dan undian berhadiah sebagai jalan pintas untuk mencari materi.
Selain itu, di film ini juga mengangkat persoalan agama dan umatnya. Hal ini tergambar dari konflik antara kelompok haji, seperti Makbul, Sarbini dan Haji Rahmat (Slamet Rahardjo Djarot) yang menolak tegas tindakan revolusioner Muluk yang mengumpulkan 10% dari hasil copet untuk diputar dan ditabung, karena menimbulkan kontroversi sebagai uang haram.
Di akhir film, muncul pernyataan keras yang menjadi jiwa film ini: “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, bunyi pasal 34 UUD 1945. Hal ini sebenarnya mempunyai muatan politis yang menyindir keseriusan para elit politik dalam memperhatikan nasib kaum terpinggirkan.
Akhirnya, dari film ini kita dapat mengambil pelajaran, bahwa niat baik apabila dilakukan dengan cara yang dapat menimbulkan kontroversi ternyata tidak dapat langsung diterima masyarakat. Seperti konflik yang dialami oleh Muluk dengan kelompok haji. Selain itu, setiap manusia mempunyai kesempatan untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik. Kita diajarkan untuk lebih arif dalam menilai seseorang bukan hanya dari bungkusnya saja, seperti apakah dia berprofesi pencopet, pengangguran ataupun calon legislatif. Namun yang perlu kita perhatikan bagaimana mereka mempunyai kebaikan untuk dapat dibagikan kepada sesama. Meskipun di akhir film, tidak semua usaha Muluk berhasil, karena para pencopet cilik didikannya sebagian ada yang beralih profesi menjadi pedagang asongan walau dikejar-kejar satpol PP dan adapula yang tetap menjadi pencopet. Usaha Muluk patut kita apresiasi, karena “Walaupun apa yang kita lakukan belum tentu mengubah sesuatu, namun segalanya tidak akan berubah jika kita tidak melakukan apa-apa, bukan..??”

Tidak ada komentar: